Jelita
Mata
besar dengan alis tebal itu menatapku tajam. Bibir merahku seketika keluh,
detak jantung berdebar di dada. Ia terus melihatku dengan tatapan penuh misteri
dari balik matanya. Hatiku semakin bergetar tak karuan, langkah kakinya terus
diayunkan hingga semakin mendekat padaku. Bibirnya tersenyum ramah, “Hei Lita,” ucapnya dengan sangat cool. Jujur aku
tersipu malu dan nyaris hampir salah tingkah dibuatnya. Namun, perasaan itu
kutahan sekuat mungkin. Aku hanya membalasnya dengan senyuman kecil meski di
dalam hati, aku melompat kegirangan. Jangan sampai ia mengetahui bahwa aku
menyimpan rasa padanya.
Kami
berjalan beriringan. Percakapan ringan ia lontarkan padaku, entah hanya basa
basi atau karena dia memang suka bercerita, yang jelas saat itu aku seolah-olah
tak mampu berbicara sepatah kata pun selain hanya tersenyum dan mengangguk. Aku
benar-benar mati kutu dibuatnya. Rasa canggung karena untuk pertama kalinya,
Miko menegur dan menyapaku. Laki-laki berpostur tinggi dengan tahi lalat di
pipi sebelah kanannya ini sudah lama membuatku jatuh hati.
Aku
dan Miko menapaki anak tangga bersama, hingga pada lantai dua, kami berpisah.
Sementara aku terus menapaki anak tangga sendirian hingga lantai tiga. Senyum
manisnya masih terbayang-bayang diingatan. Tak pernah menyangka sebelumnya
bahwa ia akan mengajakku berbicara. Sungguh ia membuatku ingin berlama-lama di
dekatnya.
Tidak,
tidak, tidak! Aku tidak boleh jatuh cinta padanya. Ia sudah memiliki Rina,
gadis berparas cantik dengan rambut hitam legam dan body seksi itu benar-benar berhasil membuatku semakin minder dan tak
percaya diri. Bagaimana bisa orang sepertiku yang jauh dari kata cantik ini
berani jatuh cinta pada laki-laki tampan seperti Miko.
Namaku
memang tak seindah wajahku. Kata orang nama adalah doa, nama Jelita pemberian
ibu tentu sebagai tanda bahwa ibu mengharapkan anaknya tumbuh dengan paras yang
cantik nan jelita. Tapi pada nyatanya, wajahku sangat jauh dari kata indah.
Awalnya keadaan ini membuatku
merasa terkucilkan.Bahkan, aku sempat menyalahkan Tuhan dan merasa bahwa apa
yang Ia berikan kepadaku sungguh tak adil.Mengapa aku dilahirkan dengan rupa
seperti ini? Kulit hitam, tubuh pendek dan melebar ditambah lagi dengan
jerawat-jerawat di wajah. Wajar bila tidak ada laki-laki yang mau melirikku.
Setiap aku jatuh cinta, laki-laki yang kutaksir malah lebih tertarik kepada
sahabatku. Hal itu membuatku untuk enggan bersahabat. Aku tak percaya lagi yang
namanya sahabat.
Sampai pada akhirnya aku
berhenti pada satu titik di mana aku harus bisa berdamai dengan diriku. Belajar
menerima kekuranganku hingga mampu mensyukuri apa yang telah Tuhan beri padaku.
Miko! Iya, Mikolah yang membuatku bisa belajar untuk menerima kekuranganku ini.
Aku bekerja diperusahaan kosmetik sebagai acounting
dan Miko bagian development yang
bertugas mengadakan event-event untuk
kegiatan promosi. Saat itu seluruh karyawan wajib mengikuti event tersebut. Kebetulan Miko adalah
pembicaranya. Pembawaannya yang tenang, wajahnya yang tampan dan kepandaiannya
dalam public speaking benar-benar
membuat siapa pun yang melihatnya akan jatuh hati. Aku masih ingat sekali
ucapannya yang berkata “Semua wanita itu pada dasarnya cantik dan menarik,
namun keprcayaan diri merekalah yang membuat aura itu akan nampak atau tidak.
Semakin ia percaya bahwa di dalam dirinya ada kecantikan yang tidak semua orang
miliki, maka akan semakin terpancarlah aura kecantikan dari wanita tersebut.
Sadarilah bahwa di dalam diri setiap wanita telah diberikan
kecantikan-kecantikan luar biasa yang harus terus dijaga dan dirawat.” Ucapan
itulah yang mengetuk hatiku hingga aku bisa belajar menerima keadaanku dan
memberanikan diri untuk jatuh cinta pada Miko diam-diam. Walau kutahu bahwa ia
telah memiliki Rina, aku tak peduli. Aku menyukai Miko meski hanya jatuh cinta
sendiri. Terima kasih Miko, karenamu aku mampu menerima keadaanku yang tidak
cantik ini. Karena yang sesungguhnya membuat wanita
terlihat cantik adalah keindahan hatinya, bukan keindahan wajah atau pun body.

Keren ka :-)
BalasHapusTerima kasih kak :)
Hapus