Tentang Cinta dan Rupa Wujudnya #2

Pagi ini, saat aku terbangun, aku tidak langsung bergegas mencuci muka. Aku masih tetap terus terbaring menatap langit-langit kamar. Teringat kembali apa yang aku alami semalam. Rasa berdebar bercampur cemas dan khawatir menjadi satu, semua perasaaan itu muncul dengan cepat dan tak mampu kuurai.

Rasanya aku ingin cepat-cepat pulang, namun situasi tidak memungkinan. Semakin aku ingin buru-buru kembali, semakin ada saja sesuatu yang harus ditunggu. Sepertinya aku sedang diuji untuk belajar mengolah emosiku agar aku bisa bersikap tenang di dalam situasi apa pun.

Singkat cerita, kurang lebih pukul 10 malam, semuanya baru beres, akhirnya bisa pulang. Tapi aku belum bisa tenang karena kami belum makan. Aku terus bergelut dengan perasaan dan emosiku sendiri karena kepalaku terus menciptakan skenario-skenario menakutkan.

Ditambah lagi saat Bude mengatakan ia ingin martabak, dan Alisa ingin lalapan. Kepalaku semakin menjadi-jadi menciptakan skenario bahwa kami akan pulang lebih lama karena harus mencari tempat orang jual martabak, menunggunya selesai dimasak, dan setelah itu baru mencari orang yang jual lalapan, itu artinya aku semakin lama bisa pulang.

Tapi, skenario itu langsung terpatahkan karena kenyataannya, penjual martabak yang kami temui ternyata bersebelahan dengan penjual lalapan. Alhamdulillah, ini bisa menyingkat waktu pikirku. Oke, satu drama dalam kepalaku terbukti kalah.

Sambil menunggu lalapan dan martabak dibuat, kuceritakan masalahku pada kakakku.

“Kak Fany, Astari, mau teleponan sama papa. Dari tadi papa telpon, Astari pulang naik gojek aja ya,” kataku dengan ekspresi takut.

“Ih, Kak Fany juga takut, jangan, teleponan dah di situ.” Ia menunjuk tempat sepi, yang dikira bisa digunakan untuk teleponan.

“Hmm,” jawabku putus asa. Setelah itu aku hanya duduk diam memperhatikan penjual itu menyiapkan pesanan kami. Sambil berharap mereka mengerjakan tugasnya dengan cepat.

“Kak Fany, nda pernah alami itu, jadi nda tau rasanya bagaimana jadi Astari,” tiba-tiba suara kak fany membuyarkan lamunanku. Mungkin karena ia kasihan melihatku yang dari tadi hanya terdiam. Ia pun menyarankanku untuk menunggu di mobil saja. Akhirnya aku ke mobil, di dalam mobil ada umi dan bude. Aku masuk dengan perasaan yang sudah tidak menentu. Hanya bisa terdiam.

“Cepat ya,” kata bude.

“Belum, Bude,” jawabku.

“Ih, kenapa nda tunggu Kak Fany?” tanya umi heran.

“Capek umi,” jawabku.

“Oooh iya dah,” kata umi.

Aku kembali terdiam. Saat semua pesanan beres. Kami melanjutkan perjalanan untuk mengantar Bude dan Alisa pulang. Itu sudah pukul setengah sebelas. Karena perjalanan pulang ke rumah umi melewati sawah, aku bisa melihat bagaimana bulan bersinar dengan sangat cantik, meski tak berbentuk bulat penuh, namun ukurannya cukup besar dan cahayanya benar-benar lembut menentramkan.

“Bulan, perasaanku berantakan. Aku kesulitan mengurainya karena selama di rumah sakit tadi, selain aku harus menahan lapar, aku juga harus menunggu dalam waktu yang tidak kuketahui sampai kapan,” curhatku pada bulan. Meski ia hanya terdiam, namun sinarnya yang lembut membuat hatiku sedikit tenang, seolah-olah ia memelukku dan berkata, “Tenang, sebentar lagi sampai, kok. Sabar ya.”

Aku sudah merasa cukup tenang, karena Allah mengizinkanku untuk bisa melihat dan merasakan kelembutan bulan yang selalu bersedia bersinar menerangi malam. Ah, rasanya aku ingin menjadi bulan saja, yang selalu terlihat tenang apa pun kondisinya. Ia tidak marah meski kadang awan menghalangi sinarnya, ia tidak pernah gentar meski harus bersinar sendirian, bahkan ia tidak takut meski dikelilingi gelap. Kayaknya seru juga kalau aku jadi bulan. Ah, skenario di kepalaku semakin menjadi-jadi.

Singkat cerita, sampailah kami di rumah umi. Aku langsung bergegas turun dari mobil dan mengeluarkan motorku. Segera aku masuk ke kamar dan mengambil barang-barangku. Aku berpamitan kepada kak fanny, umi dan abi.

Abi dan umi masih kebingungan karena melihatku yang terburu-buru.

“Kenapa pulang, nginap di sini aja, sudah jam 11 ini,” kata abi dengan wajahnya yang nampak cemas.

“iya, kenapa bisa tiba-tiba mau pulang?” tanya umi

“dari tadi dia mau pulang,” jawab kk fanny

“nginap di sini aja,” bujuk umi dan abi.

Aku bisa merasakan kekhawatiran dari raut wajah abi. Melihat anak perempuan harus berkendara motor sendirian pukul 11 malam untuk pulang ke kostnya. Aku juga bisa merasakan kebingungan umi yang melihatku tiba-tiba ingin pulang padahal sebelumnya semua baik-baik saja. Tapi aku tak bisa menjelaskan panjang lebar apa yang sedang kurasakan karena aku harus pulang. Papa pasti sudah menungguku dari tadi.

Sampai di kost. Aku bergegas buka hp dan menghubungi papa. Aku melihat pesan wa dari umi, “infokan klo sdh nyampe. Umi ttp kpikiran Astari tiba-tiba mau pulang.”

Kujawab pesan umi dan berkata bahwa aku sudah sampai kost, dan meminta umi untuk tidak khawatir ataupun merasa bersalah.

Lagi-lagi pikiranku terbukti salah. Aku pikir papa akan marah karena aku lama pulang. Tapi ternyata tidak, papa hanya ingin sharing santai karena beliau merasa tergugah membaca tulisan-tulisanku. Katanya papa merasakan bagaimana rasanya jadi aku. Ia tahu apa yang aku rasakan. Ia bercerita panjang lebar. Bahkan tak terasa kami berbicara sampai 2 jam.

Sepertinya memang benar, semalam Allah sedang mengujiku untuk belajar mengontrol emosiku agar tidak mudah takut dan cemas, karena terkadang apa yang kita pikirkan belum tentu menjadi kenyataan.

Dan pagi ini, aku terbangun dengan perasaan yang penuh cinta. Karena aku menyadari, betapa keluargaku begitu sangat menyayangiku. Abi dan umi yang terlihat begitu mengkhawatirkanku karena harus pulang sendirian. Kk fanny yang juga berusaha untuk mengerti perasaanku.

Aaaah, aku sayang sekali dengan Abi, Umi dan Kk Fanny. Mereka membuatku merasa disayangi. Mereka selalu baik padaku, padahal jika aku ke rumahnya aku lebih sering merepotkan daripda bantu-bantunya. Terima kasih Tuhan. Keluargaku semuanya menyayangi, mencintai dan mengasihiku dengan sangat tulus.

Aku bersyukur karena bisa merasakan cinta dari mereka. Pagi ini hatiku benar-benar dipenuhi cinta. Semoga aku bisa meneruskan kebaikan Abi, Umi dan Kk Fanny kepada orang lain. Jika kelak nanti aku telah punya keluarga sendiri, aku akan melakukan seperti apa yang telah Abi, Umi dan Kk fanny contohkan kepadaku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Percakapan!

Kubenci Aku!!!

Analisa Mimpi