Apa yang Sedang Anda Pikirkan?

Jika kamu pengguna facebook, tentu kamu sudah tidak asing lagi dengan judul di atas. Pertanyaan itulah yang kutanyakan pada diriku saat aku menuliskan ini, dan kau tahu, ada banyak sekali yang sedang aku pikirkan. Jadi, harap maklum jika pada tulisan ini pembahasannya tidak beraturan. Oke, selamat membaca.

Hati hati dalam mempercayai sesuatu, karena apa yang kita percayai baik atau buruk, kemungkinan besar itu akan terjadi. Katanya, kita mampu menarik apa saja hanya dengan mengandalkan kekuatan pikiran.

Setelah aku menuliskan itu, aku bertanya kepada dirkiku, lalu bagaimana pikiran kita bisa terisi? Jawabanku sementara adalah pengalaman, dari buku yang dibaca, film yang ditonton, suara yang didengar, kejadian yang disaksikan, dan dari cerita-cerita yang didapat, semuanya bisa menjadi sumber untuk mengisi pikiran kita.

Berarti apa yang kita pikirkan sekarang bisa jadi telah terkontaminasi dengan hal-hal yang berada diluar diri kita. Dan bisa jadi, pikiran yang kita masukkan ke dalam memori kita, itu sebenarnya tidak perlu kita simpan karena belum tentu relate dan cocok untuk kita.

Bagaimana jika ternyata, pikiran yang sudah kita simpan selama bertahun-tahun ternyata justru membuat kita jauh dari diri sejati kita. Jauh dari misi jiwa kita. Jauh dari peran apa yang seharusnya kita mainkan di kehidupan ini.

Seperti yang pernah kutuliskan pada tulisan sebelumnya, bahwa kita perlu mengenal diri kita lebih dalam agar kita bisa menjalani kehidupan kita dengan lebih enjoy dan rileks, karena sesungguhnya hidup ini asik bila kita nikmati. Tapi karena kita tidak menyadari diri kita, akhirnya kita menderita dan merasa bahwa Tuhan selalu menguji kita, padahal sebenarnya kitalah yang tidak sadar-sadar bahwa selama ini kita telah mengonsumsi pikiran-pikiran yang sebenarnya sudah tidak lagi relate dengan kita.

Jika pikiranku telah terkontaminasi, itu artinya aku perlu mensetting ulang pikiranku. Tapi bagaimana caranya?

Setelah aku bertanya tentang ini, tibaa-tiba pikiranku membawaku pada suatu kejadian yang terjadi beberapa minggu yang lalu saat modemku gangguan. Aku kesal karena jaringannya lama bisa tersambung, kadang bisa terkoneksi, kadang juga tidak bisa, jika bisa pun, ia bisa loading lama sekali.

Aku pun memutuskan untuk membawanya ke dokter modem. “Mba, kok modem ini lelet sekali, padahal saya sudah bayar tagihannya tepat waktu,” keluhku kepada costumer service.

“Baik mba, sebentar ya, dicek dulu,” jawabnya dengan sangat lembut dan santun.

Tak beberapa lama waktu berselang, mba itu kembali dan membawa modemku yang sudah bisa digunakan kembali.

“Mba, nanti kalau lelet lagi, direset aja ya, tekan tombol kecil ini berbarengan dengan tombol power kurang lebih 10 detik saja,” jelas mba itu sambil menunjuk sebuah tombol kecil yang berada di belakang modem.

“Siap mba, terima kasih.” Aku pun pulang dengan perasaan lega.

Aku tidak tahu mengapa pikiran ini tiba-tiba muncul di kepalaku. Tapi kalau dipikir-pikir, seru juga ya jadi modem, bermasalah sedikit, tinggal direset aja. Lalu ia akan kembali kesetelan pabrik dan bisa bekerja kembali seperti semula.

Hmm, jika tubuhku punya tombol reset seperti modem itu, tentu akan kupakai terus. Tapi sepertinya Tuhan tahu deh, jika ditubuhku, ada tombol resetnya, aku tidak akan belajar apa pun di kehidupan ini karena ada masalah sedikit, reset. Ada masalah sedikit, reset. Lalu kapan aku bisa belajarnya?

Aku jadi senyum-senyum sendiri, nanya-nanya sendiri, jawab-jawab sendiri. aneh! tapi aku yakin, yang jawab pertanyaanku bukanlah diriku, melainkan Tuhan. Terima kasih Tuhan, sudah menjawab pertanyaan recehku ini.

Kembali lagi kemasalah pikiran. Jika dipikir-pikir, ada begitu banyak pikiran di kepalaku. Layaknya modem, hal ini kadang membuatku bekerja sangat lamban. Loadingku bisa sangat lama dan aku tidak bisa fokus.

Kadang aku menyiasati masalah itu dengan menulis, kuuraikan semua pikiran-pikiran yang ada di kepalaku hingga aku menemukan benang merahnya dan aku kembali berpikir netral. Tapi aku jadi penasaran, bagaimana ya pikiran default manusia? Apakah kembali ke titik nol itu disebut default? Adakah manusia yang benar-benar kosong pikirannya? Bagaimana dengan orang gila? Apakah pikirannya terlalu banyak atau justru ia sedang tidak memikirkan apa pun? Tapi apakah bisa kita tidak memikirkan apa pun?

Aku sering diajarkan untuk bermeditasi. Katanya meditasi adalah cara untuk mengolah napas yang bisa membantu kita untuk mengurai pikiran sehingga kita bisa menjadi lebih tenang. Biasanya aku sering melakukan ini jika aku sedang overthinking.

Saat aku mencoba berlatih meditasi, pikiran-pikiran tetap datang menggangguku. Katanya tidak perlu berusaha untuk dihilangkan cukup disaksikan saja. Tapi, kadang aku tetap masih kepikiran, hingga aku berpasrah dan menyerahkan semua padaNya, barulah aku bisa merasa benar-benar tenang.

Saat aku sedang sholat pun, pikiranku masih sering kemana-kemana. Oh Tuhan, mengapa sulit sekali untuk bisa mengendalikan pikiran ini. Tak sedikit pikiran yang mampir di kepalaku saat sedang sholat. Ada yang samar, ada yang mendominasi, ada yang datang sebentar, ada yang bertahan lama, ada yang aku sukai, ada yang tidak ingin kupikirkan, ada yang tidak penting, ada pula yang penting.

Katanya, kita akan mendapatkan apa yang kita fokuskan. Tapi, untuk aku pribadi, aku masih sulit untuk bisa fokus, aku masih kesulitan untuk mengendalikan pikiranku. Aku masih sulit untuk menjadi netral.

Tapi katanya lagi, kita tidak boleh berkata sulit, karena nanti ini akan benar-benar menjadi sulit untukku. Jika aku ingin mendapatkan apa yang aku inginkan, caranya adalah dengan berpura-pura bahwa aku telah mengalaminya karena semesta tidak bisa mengenali mana kenyataan dan mana yang tidak.

Semesta bekerja dengan melihat apa yang sedang kita rasakan, ketika kita merasa sulit, maka akan ada saja kesulitan yang dikirimkan untuk kita, sebaliknya, jika kita berpikir mudah maka akan ada saja kemudahan yang dikirimkan untuk kita. Itulah mengapa di kitab suci pun sudah dituliskan bahwa barang siapa yang bersyukur maka akan ditambahkan nikmatnya.

Ketika kita bersyukur, kita berada di high vibration begitu pun sebaliknya, di saat kita mengeluh dan tidak bersyukur kita akan berada di low vibration. High vibration tempatnya kenikmatan dan low vibration tempatnya kemalangan.

Tapi, aku berpikir lagi, jika aku masih membedakan keduanya, itu artinya kesadaranku sedang berada di 3 dimensi. Padahal sudut pandang 5 dimensi jauh lebih menyenangkan. Kesadaran 5 dimensi tidak lagi terjebak pada baik dan buruk karena keduanya sama-sama baik.

Ah, beginilah terlalu banyak teori membuatku banyak berpikir. Tapi, aku senang karena setidaknya dengan pikiran-pikiran itu aku bisa menghasilkan tulisan ini. Terima kasih diriku. Aku jadi paham dengan apa yang sedang aku pikirkan, kuharap semoga yang membacanya juga bisa paham. Jadi, apa yang sedang kamu pikirkan?

 

 

Komentar

  1. aku curiga km mudah cemas...

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya benar, dalam beberapa situasi, aku masih sering kesulitan untuk mengolah emosiku, dan saat ini sedang belajar untuk mengatasi itu

      Hapus
  2. klo itu sembuh pola dan gaya menulismu akan berubah.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Percakapan!

Kubenci Aku!!!

Analisa Mimpi